Senin, 07 Maret 2011

Latar Belakang Surat 2 Timotius

Latar Belakang Surat 2 Timotius
Surat satu dan dua Timotius juga surat kepada Titus merupakan kelompok surat yang mempunyai ciri-ciri khas yang sama, baik dalam gaya bahasa maupun dalam masalah-masalah yang dibahas. Kelompok surat ini dikenal dengan sebutan “Surat-surat Pastoral.” Istilah latin Pastor berarti gembala. Ketiga surat tersebut dinamakan Surat-surat Pastoral karena dalam surat tersebut berisi petunjuk-petunjuk mengenai bagaimana menggembalakan jemaat.[1]
Surat-surat Pastoral ditulis Paulus kepada anak-anak rohaninya, yang ia percayai dan utus untuk menggembalakan jemaat Tuhan di tempat masing-masing. Timotius melayani jemaat di Efesus, sedangkan Titus di pulau Kreta. Dalam surat-surat ini, Paulus menasihati, memberikan instruksi kepada mereka dalam menggembalakan, mengajar, dan mendisiplin jemaat masing-masing. Dalam surat yang pertama kepada Timotius, Paulus mengingatkan Timotius bahwa Injil yang berharga itu harus diberitakan, diajarkan, dipertahankan terhadap serangan atau penyelewengan dan menjaga agar Injil itu diteruskan kepada generasi-generasi yang akan datang secara tepat dan utuh.
Paulus menulis surat tersebut karena mengetahui bahwa Timotius pemalu serta menghadapi kesukaran, dan karena menyadari akan kemungkinan penganiayaan berat dari luar gereja dan adanya guru-guru palsu di dalam gereja, Paulus menasihatkan Timotius agar dia memelihara Injil, memberitakan Firman Allah, menanggung kesukaran dan melaksanakan tugas-tugasnya. Surat ini merupakan surat terakhir Paulus. Pada saat menulis surat ini, kaisar Nero sedang berusaha untuk menghentikan perkembangan kekristenan di Roma dengan penganiayaan yang bengis terhadap orang percaya. Surat ini ditulis oleh Paulus sekitar tahun 67 Masehi ketika ia berada di penjara. Ia menyebut dirinya “seorang hukuman karena Dia” (2 Tim. 1:8), dan ini adalah penghukuman yang kedua kalinya di Roma. Paulus disekap dalam ruang bawah tanah dengan keadaan terantai (2 Tim. 1:16), dibelenggu seperti penjahat (2 Tim. 2:9). Ia menderita karena kehidupan yang sepi, membosankan dan dingin dalam penjara (2 Tim. 4:9-13). Onesiforus menemukan penjara Paulus dengan susah payah (2 Tim.1:17) karena penjara tersebut tersembunyi dari umum.[2]
Paulus saat itu sedang diperiksa mengenai perkaranya dan ia sedang menunggu perkaranya diajukan ke pengadilan (2 Tim. 4:16-17). Dalam perkaranya itu, Paulus tidak berharap akan dibebaskan. Ia sudah siap untuk dihukum mati karena ia telah berjuang keras untuk pemberitaan Injil (2 Tim. 4:6-8). Sebelum Paulus meninggal, ia mengirim pesan yang kedua kepada Timotius. Ia merasa pelaksanaan hukuman matinya sudah dekat. Meskipun isinya mencerminkan komunikasi yang sangat akrab dan pribadi dengan temannya Timotius yang muda belia itu, namun surat itu merupakan surat wasiatnya yang terakhir kepada gereja.
John R. W. Stott dalam bukunya mengutip pernyataan Eusebius yang menyatakan bahwa :
Paulus dijatuhi hukuman mati dan kemudian dipenggal kepalanya (sebagaimana perlakuan yang seharusnya terhadap seorang warga Negara Roma) di jalan Ostia, kira-kira 5 km di luar kota. Paulus dan Petrus dibunuh pada saat yang sama. Meskipun Paulus dipenggal kepalanya tapi Petrus (atas permintaannya sendiri) disalibkan dengan kepala di bawah.[3]

Telah tiga puluh tahun, Paulus dengan setia memberitakan Injil, mendirikan gereja-gereja, membela kebenaran dan mengkonsolidasikan pekerjaannya. Ia telah mengakhiri pertandingan yang baik, telah mencapai garis akhir, telah memelihara iman (2 Tim. 4:7).
Pada saat Paulus menulis surat kepada Timotius, Paulus sedang menghadapi ajaran sesat yang berkembang pada saat itu yaitu Gnostisisme. Pikiran dasar Gnostisisme ialah bahwa segala benda (materi) pada hakikatnya jahat dan hanya roh yang baik. Gnostisisme percaya bahwa materi bersifat abadi, sama halnya dengan Allah yang abadi. Mereka percaya bahwa ketika Allah menciptakan dunia ini, Ia harus menggunakan bahan (materi) yang pada hakikatnya jahat. Allah tidak menjadi pencipta langsung atas dunia ini. Untuk menyentuh materi yang bercacat tersebut, Allah harus mengutus keluar serangkaian emanasi, yang mereka sebut aeon. Tiap emanasi makin jauh dari-Nya, sampai akhirnya ada emanasi atau aeon yang demikian jauh sehingga dapat bersentuhan dengan materi dan menciptakan dunia. Gnostisisme secara harfiah memiliki dongeng dan silsilah yang tidak ada kesudahannya. Jika orang ingin mencapai Allah, ia harus mendaki jenjang emanasi tersebut. Untuk itu memerlukan pengetahuan yang khusus untuk melewati setiap jenjang. Biasanya hanya orang berpengetahuan tinggi atau berintelektutal tinggi yang dapat mencapai Allah.[4]
Dalam ajaran Gnostisisme mengajarkan bahwa tubuh itu jahat. dari ajaran mereka tersebut, ada dua konsekuensi yang berlawanan yang pertama yaitu bahwa tubuh harus direndahkan sehingga mengakibatkan asketisme yang keras. Segala kebutuhan tubuh sejauh mungkin ditiadakan termasuk nalurinya, terutama naluri seksual, sejauh mungkin dibinasakan. Yang kedua ialah, naluri-naluri dan segala nafsu boleh dipenuhi sebebas-bebasnya karena tubuh itu jahat, sehingga tidak menjadi soal apa yang akan dilakukan terhadap tubuh. Oleh sebab itu seorang Gnostik dapat menjadi seorang askestis atau orang yang tidak bermoral, Karena baginya moralitas sama sekali tak punya relevansi. Yang lebih jauh lagi, ajaran ini tidak percaya akan kebangkitan tubuh. Bagi mereka hanya ada pembinasaan tubuh.[5]


[1] Budiman, Surat-surat Pastoral I & II Timotius dan Titus (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2000), ix.
[2] John R. W. Stott, II Timotius, Pen. R. Soedarmo, (Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih), 15.
[3] Stott, II Timotius, 17.
[4] William Barclay, Surat 1 & 2 Timotius, Titus, Filemon, Pent. Bambang Subandjo, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2008), 17.
[5] Ibid, 18.

1 komentar:

  1. salam damai sejaterah, buku John R. W. Stott masih ada gak bang

    BalasHapus